MENURUNNYA RASA CINTA TERHADAP BAHASA INDONESIA

Kamis, 18 Desember 2014



Cinta menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai suka sekali, sayang benar, kasih sekali, terpikat, ingin sekali. Jika digabung dengan kata Indonesia, maka ungkapan ini bermakna suka sekali dengan Indonesia, terpikat dengan Indonesia, dan ingin sekali akan Indonesia. Kata benda Indonesia bisa diganti dengan Afris, Fitri (seperti nama sebuah sinetron), uang, pekerjaan, ataupun tanaman.
Gejala cinta dapat dirasakan melalui adanya rasa perhatian yang lebih, rasa nyaman ketika memberi, dan juga cara memperlakukan objek cinta. Ambillah contoh, dua muda-mudi yang sedang jatuh cinta akan saling memberi perhatian khusus, saling memperlakukan dengan rasa sayang yang tulus serta perasaan hati yang gembira. Titiek Puspa bilang, jatuh cinta berjuta rasanya.
Perkumpulan pemuda-pemudi pada ahun 1928 tentu merasakan hal yang sama ketika merumuskan Sumpah Pemuda. Bersama dengan teman-teman mereka dari seluruh Nusantara, mereka mengambil tekad bahwa kecintaan mereka tetap satu: yaitu Indonesia. Bangsa, Tanah Air, dan Bahasa adalah tiga wujud cinta yang mereka satukan.
Sejalan dengan makin bertambah tua negara ini, cinta itupun memudar. Hal yang paling nyata adalah mengenai bahasa. Berapa banyak anak muda Indonesia sekarang ini yang cinta akan bahasanya? Berapa banyak dari kaum ini yang sekarang dalam kehidupan sehari-hari tetap memupuk rasa cinta terhadap bahasa Indonesia?  Mengapa harus menyisipkan istilah asing ketika berbicara bahasa Indonesia? Agar kelihatan keren? Seorang pembesar di negeri ini bahkan lebih senang menggunakan scheme daripada skema.
Seorang teman merasa risih ketika mengirim SMS (short message service) menggunakan bahasa Indonesia. “Pliz deh, hare gene pake bahasa Indonesia??” Lagi ceritanya, dia telah terbiasa menggunakan bahasa asing sejak lahir. Dia merasa kagok (canggung.red) ketika harus menggunakan bahasa Indonesia. Lain lagi cerita tentang kontes-kontesan nona cantik di negeri ini. Konon yang terpilih adalah nona Indonesia yang tidak tahu berbahasa Indonesia. Aduh, mengapa bisa begitu? Saya tidak punya jawaban pasti.
Salah satu syarat utama penerimaan pegawai (negeri maupun swasta) di negeri ini adalah menguasai bahasa asing, lisan dan tulisan.  Aturan dan standard nilai sudah ditetapkan. Tak bakal lolos jika nilai tidak mencukupi. Tidak pernah ditanyakan: “berapa nilai bahasa Indonesiamu?” Yang lazim adalah berapa nilai TOEFLmu?
Kebanggaan terhadap bahasa Indonesia tidak lagi ada dalam diri rakyatnya sendiri. Kambing hitampun dicari: Globalisasi. Mengapa pusing dengan globalisasi? Justru globalisasi yang seyogyanya mengikuti bangsa Indonesia. Usaha mengglobalkan bahasa Indonesia tentu lebih menguntungkan daripada mengglobalkan diri dengan bahasa lain.
Bagaimanapun, inilah perjuangan para pendahulu yang olehnya kita dapat dipersatukan. Tak dapat dibayangkan jika hanya karena ingin keliling Indonesia, kita harus menguasai ribuan bahasa daerah.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

I love bahasa Indonesia

Posting Komentar